Baru-baru ini sibuk diperkatakan tentang bakteria listeriosis yang dikesan dalam epal jenis Granny Smith dan
Gala dari California, Amerika Syarikat (AS) yang mencetuskan kebimbangan
berikutan dakwaan pakar ia boleh merebak kepada buah lain. Penyebaran boleh berlaku dalam
beberapa keadaan, termasuk jika epal tercemar itu diletakkan bersama
atau berhampiran buah lain. Semua jenis buah yang disimpan dalam bekas penyimpanan
epal tercemar turut terdedah kepada penyebaran sel bakteria itu.
Teringat kisah para sahabat tentang pemuda jujur yang tidak sengaja memakan sebiji epal tanpa keizinan empunya kebun. Begini kisahnya. Seorang pemuda bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba
dia melihat sebiji epal jatuh keluar dari pagar sebuah kebun
buah-buahan. Melihat epal yang merah ranum itu terjatuh di tanah lalu
Tsabit mengambil buah epal tersebut, apalagi pada hari yang
panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dimakan buah epal
yang lazat itu, akan tetapi baru separuh di makan dia teringat bahwa
buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu ingin menemui
pemiliknya agar minta diikhlaskan buah yang telah dimakannya. Di kebun
itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka dia berkata, “Aku sudah makan
setengah dari buah epal ini. Aku berharap anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku ini pekerjanya
yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya”.Dengan nada menyesal
Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan
minta agar diikhlaskan epal yang telah ku makan ini.”
Pengurus kebun itu
memberitahu, “Jika engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam”. Tsabit bertekad akan pergi
menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada tukang kebun itu, “Tidak apa-apa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh.
Aku telah memakan epal yang tidak halal bagiku karena tanpa izin
pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui
sabdanya: “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih
layak menjadi umpan api neraka”.
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun
itu, dan setiba di sana dia terus mengetuk pintu. Setelah itu pemilik
rumah membuka pintu, Tsabit memberi salam dengan sopan,
seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah,saya sudah terlanjur makan
setengah dari buah epal tuan yang telah jatuh ke luar kebun tuan. Oleh itu saya harap tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan
itu?”Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat.
Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak,aku tidak bisa menghalalkannya
kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa risau dengan syarat itu
karena takut ia tidak dapat melaksanakannya.
Maka segera ia bertanya,
“Apa syarat itu tuan?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini
putriku” Tsabit tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu,
maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah epalmu
yang keluar dari kebunmu,aku harus mengawini anak mu?” Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit. Ia
malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus
tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta,
bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh”
Tsabit sangat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia jadikan sebagai isteri gara-gara setengah buah epal yang tidak diikhlaskan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan” Kemudian Tsabit menjawab, “Aku akan menerima pinangannya dan menikahinya. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meredhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan.Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu,karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka diapun mengucapkan salam,“Assalamu”alaikum…”
Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini telah menjadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk ingin menghampiri wanita itu,dia mengulurkan tangan untuk menyambut uluran tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut tangannya.Tsabit tergamam menyaksikan perkara ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”,
Kata Tsabit dalam hatinya.
Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang
bertentangan dengan yang sebenarnya? Setelah Tsabit duduk di sisi
isterinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta. Mengapa?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”. Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli, mengapa?” Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridho Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahawa aku bisu dan lumpuh, bukan?” Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan celaan
Allah Ta’ala”.
Allah Ta’ala”.
Tsabit sangat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat solehah dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, “Ketika kulihat wajahnya, Subhanallah! dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”. Tsabit dan isterinya yang solehah dan cantik itu hidup bahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit .